21 October, 2013

Cinderella: Kisah Sewindu

Pada suatu windu, Cinderella sedang bejalan-jalan di padang alang-alang bersama teman-temannya. Seperti biasa yang selalu mereka lakukan, mereka menyanyikan lagu-lagu band-band tidak terkenal sambil bermain gitar atau bermain balon atau menari-nari kecil. Ketika matahari memilih untuk beristirahat, Cinderella dan teman-temannya pulang. Pulang pada kerinduannya masing-masing. 

Sore itu Cinderella menyimpan sebuah cerita. Tapi ia rahasiakan. Lalu apa guna cerita bila tidak diceritakan? Pikirnya. 

Esoknya, ia berencana menjenguk sahabatnya yang sakit. Tepat pukul delapan lebih dua puluh lima, ia sampai di sebuah pondok, rumah Rapunzel. Rapunzel terkena demam berdarah karena pada malam sebelumnya ia lupa menyalakan obat nyamuk. Rapunzel terlihat pucat.

Pada detik ke sekian terjadilah percakapan antara Cinderella dengan Rapunzel.
C: Zel, aku ingin bercerita, sebenarnya.
R: Ceritakan.
C: Tapi ini rahasia.
R: Lalu apa guna kau datang kemari? Hanya menjenguk? Ah, kau bukan sahabatku kalau begitu.
C: Baiklah. Aku dekat dengan seseorang.
R: Siapa pemuda malang itu? Bisa dijatuhcintai olehmu. Rapunzel tertawa.
C: Sialan kau. Aku baru dekat dengannya.
R: Kepada siapa kau jatuh cinta, putri? 
C: Aku tidak jatuh cinta. Aku hanya dekat saja.
R: Oke. Baiklah. Tapi kepada siapa?
C: Siliwangi. Wajahnya memerah.
R: Oh, pemuda yang pintar bermain panah itu ya? Haha.
C: Hai, kau jangan tertawa. Sudahlah.
R: Baiklah, aku akan diam. Kalau kau mau, aku masih menyimpan sedikit puan di lemari es.
C: Akan aku ambil nanti.
R: Hei, tapi ceritakan bagaimana kalian bisa bertemu.
Percakapan persahabatan itu berlangsung hingga terlalu sore. Detik jam dinding warna oranye ikut menjadi teman setia percakapan dua gadis itu.

Sudah sewindu Cinderella dan Prabu Siliwangi menukar pikiran, bercerita tentang selai apa yang dimakan setiap pagi bersama roti tawar atau gandum, bercerita tentang program televisi apa yang sedang dilihat, bercerita tentang zombie di film-film yang berbeda, bercerita tentang bagaimana hebatnya cicak memutuskan ekornya, bercerita tentang semesta yang memberi sejuta harapan dan ajaiban.

Tapi di penghujung windu, di tempat yang sama saat mereka bertemu, di padang alang-alang, menyanyikan lagu-lagu band-band tidak terkenal yang sama, bermain gitar yang sama, bermain balon atau menari-nari kecil dengan gaya yang sama, dengan matahari yang masih sama, dengan hati dan perasaan yang selalu merindu, Cinderella melihat dibalik alang-alang yang meninggi, Prabu Siliwangi mendekap seorang gadis, dengan paras, baju, suara, dan hati yang sangat berbeda. Kemudian Cinderella berlari, mencoba menahan rintikan hujan di mata yang mendung. Mencoba mengabaikan gravitasi yang lekat. Mencoba mencari jalan untuk pulang, pulang pada tempat nyaman, pulang pada kerinduan.

15 October, 2013

Kata bapak...

Kata bapak kalau jadi wanita itu kayak bunga mawar. Tau bunga mawar? Iya, bunga yang identik sama wewangian. Sekelompok sama cendana dan melati. Kata bapak bunga mawar itu harum. Lalu aku tanya kenapa bapak memilih bunga mawar, bukan bunga-bunga yang lain, bukan melati atau cendana. Kata bapak mawar itu bunga harum yang punya duri. Lalu bapak tanya apakah aku tau bagaimana rasanya kena duri. Aku jawab rasanya sakit. Jadi kalau memetik mawar harus hati-hati, kan? Tanya bapak lagi. Bapak bilang mawar itu indah, kata bapak juga madu di dalam bunga mawar adalah madu paling manis. Kemudian aku bertanya mengapa mawar menggugurkan mahkota bunganya, padahal mawar tau kalau dirinya indah. Lalu bapak jawab, mawar itu mengorbankan dirinya untuk mawar selanjutnya yang mau tumbuh. Dia akan menggugurkan mahkota bunganya. Jadi dia tetap sederhana. Tapi harumnya akan tetap terkenang. Lalu bapak tertidur dan aku memandangi langit-langit kamar. Ya, kata bapak 10 tahun lalu.